KONVENSI

K O N V E N S I
K O N V E N S ISpecial ResumeKonvensi atau hukum Kebiasaan Ketatanegaraan merupakan salah satu sumber HTN dalam arti formal.Konvensi merupakan faktor dinamika sistem ketatanegaraan suatu negara, terutama pada negara-negara demokrasi. Bukan saja berfungsi melengkapi kaidah-kaidah hukum ketatanegaraan yang ada, melainkan untuk menjadikan kaidah-kaidah hukum terutama UUD dapat berjalan sesuai dengan perkembangan masa.Konvensi atau Hukum kebiasaan ketatanegaraan adalah hukum yang tumbuh dalam praktek penyelenggaraan negara, untuk melegkapi, menyempurnakan, menghidupkan ( mendinamisasi ) kaidah-kaidah hukum perundang-undangan atau hukum adat ketatanegaraan.Hakekat KonvensiUndang-Undang Dasar suatu negara ialah hanya sebagian dari hukum dasar negara itu, UUD adalah hukum dasar yang tertulis, sedangkan disamping UUD itu berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan – aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara meskipun tidak tertulis.Namun demikian Konvensi harus memenuhi syarat yaitu :a. Tidak bertentangan dengan isi, arti dan maksud UUD’45.b. Oleh karena itu sifatnya melengkapi, mengisi kekosongan ketentuan yang tidak diatur secara jelas dalam UUD dan menetapkan pelaksanaan UUD.c. Terjadi berulang – ulang dan dapat diterima oleh masyarakat.d. Konvensi hanya terjadi di tingkat nasional saja.Dari bunyi penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa kehidupan ketatanegaraan menurut UUD 1945, selain dilaksanakan berdasarkan kaidah-kaidah hukum tertulis, harus pula memperhatikan dan mentaati kaidah-kaidah hukum yang tidak tertulis. Apakah yang dimaksud dengan hukum dasar yang tidak tertulis ? Apakah berupa kumpulan kaidah ( hukum ) yang selama ini kita kenal dengan nama hukum adat ? Ataukah yang dalam hukum tata negara disebut sebagai konvensi ( Convention ) ?.Dengan memperhatikan bunyi penjelasan UUD 45 tersebut di atas, pengertian hukum dasar tidak tertulis disini lebih cenderung kepada pengertian konvensi, bukan hukum adat sebagaimana yang lazim kita kenal dalam masyarakat Indonesia maupun pelajaran hukum di Indonesia.Kecenderungan pengertian ini didasarkan pada anak kalimat yang berbunyi aturan-aturan dasar “ yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara meskipun tidak tertulis. Sedangkan hukum adat bukan hukum yang terutama timbul dan terpelihara dalam praktek penyelengaraan negara. Hukm adat terbentuk melaluhi putusan-putusan penguasa adat.Istilah Konvensi, pertama kali dipergunakan oleh Dicey yaitu : The Convention of the Constitution atau Understanding of the constution, constitutional morality.Menurut Dicey, meskipun konvensi ketatanegaraan mengatur tentang cara-cara pemegang kekuasaan negara menjalankan kekuasaan, tetapi tidak tergolong sebagai kaidah hukum, karena ketaatan konvensi ketatanegaraan tidak dipaksakan oleh melalui pengadilan. Ketaatan konvensi semata-mata berdasarkan kesukarelaan, atau karena dorongan etika atau akhlak. Karena itu konvensi ketatanegaraan disebut juga etika ketatanegaraan atau akhlak ketatanegaraan..Kemudian Jennings berpendapat, bahwa ada dua fungsi konvensi yaitu :1. Memelihara agar peraturan-peratura hukum ketatanegaraan dapat mengikuti perubahan masyarakat dan perubahan pandangan dalam bidang politik.2. Agar penyelengaraan negara dapat menjalankan pemerintahannya.Peninjauan terhadap konvensi tidak dapat dilepaskan dari paham tentang konstitusi atas konstitusionalisme.Hakekat Konstitusionalisme adalah pembatasan kekuasaan penyelenggaraan negara terutama pembatasan wewenang. Pembatasan kekuasaan ini antara lain bertujuan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan yang akan melangar hak-hak ( azasi) rakyat atau warga negara. Disini pulalah harus dipahami uraian K.C. Wheare tentang mengubah atas perubahan UUD melalui atau dengan konvensi.Menurut K.C. Wheare, bahwa perubahan UUD dengan konvensi dapat terjadi dalam tiga bentuk :1. Konvensi menghapuskan atau mendiamkan beberapa ketentuan dalam UUD. Menghapuskan disini bukan dalam arti mengubah ( amend) atau membatalkan ( abolish). Menghapuskan disini sekedar memuat ketentuan UUD itu tidak dilaksanakan menurut bunyi atau arti yangterkandung didalamnya, konvensi menyebabkan ketentuan UUD tidak efektif.2. Konvensi mengalihkan kekuasaan yang telah ditetapkan UUD. Konvensi semacam ini lazim dijumpai pada negara-negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer.Meskipun UUD maupun peraturan hukum lainnya memberikan kekuasaan kepada kepala negara. Tetapi pada hakekatnya kekuasaan itu oleh konvensi dialihkan kepada pihak lain. Misalnya Kepala Negara berdasarkan ketentuan hukum ketatanegaraan yang berlaku berhak mengangkat Menteri – Menteri sesuai dengan kehendaknya.Dalam praktek berdasarkannya konvensi, Kepala Negara hanya mengangkat Menteri-Menteri yang diajukan oleh Perdana Menteri. Demikian dalam membubarkan Parlemen, Kepala Negara akan selalu mengikuti saran-saran Perdana Menteri.Akan tetapi dalam perkembangan kemudian banyak negara yang mengatur hak-hak tersebut dalam UUD – nya, sehingga tidak diperlukan konvensi..Peranan konvensi dalam mengalihkan kekuasaan yang tidak diatur UUD tidak hanya dijumpai pada sistem parlementer, tetapi juga dijumpai pada sistem pemerintahan presidensial seperti Amerika Serikat.3. Konvensi melengkapi UUD atau peraturan hukum ketatanegaraan yang sudah ada.Di AS terdapat konvensi bahwa Presiden tidak akan mengangkat menteri-mnteri dari satu kawasan saja. Presiden akan berusaha mengangkat menteri-menteri dari berbagai kawasan sehingga terwakili dalam pemerintahannya. Konvensi seperti ini dapat dikembangkan di Indonesia agar sebagai terbesar rakyat akan merasa terwakili dalam pemerintahan. Dan Konvensi semacam ini akan lebih memperkokoh negara kesatuan sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (1) Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk Republik.Jadi kehadiran konvensi bukan untuk mengubah sendi konstitusional yang sudah ada. Konvensi lebih berfungsi sebagai cara-cara untuk memungkinkan kehidupan konstitusional berjalan lebih pasti dan sesuai dengan tuntutan perkembangan keadaan.Contoh Konvensi :1. Pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah untuk mufakat, menurut pasal 37 ayat (1) dan (4) UUD’45. Segala keputusan MPR diambil berdasarkan suara terbanyak. Akan tetapi system ini dirasa kurang jiwa kekeluargaan sebagai jiwa kepribadian bangsa. Karena itu dalam praktek-praktek penyelenggaraan negara selama ini selalu diusahakan untuk megambil keputusan berdasarkan musyawarah untuk mufakat, dan ternyata hampir selalu berhasil. Pungutan suara baru ditempuh jikalau usaha musyawarah untuk mufakat sudah tidak dapat dilaksanakan.. Hal demikian merupakan perwujudan dari cita-cita yang terkandung dalam Pokok Pikiran Persatuan dan Pokok Pikiran Kerakyatan dan Permusyawaratan Perwakilan.2. Pidato kenegaraan Presiden RI setiap tanggal 16 Agustus di dalam Sidang Dewan Perwakilan Rakyat.3. Pidato Presiden yang diucapkan sebagai keterangan pemerintah tentang Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pada minggu pertama pada bulan Januari setiap tahunnya.Ketiga contoh tersebut secara tidak langsung adalah merupakan realisasi dari UUD ( merupakan pelengkap ), Namun perlu digarisbawahi bilamana konvensi ingin dijadikan menjadi rumusan yang bersifat tertulis, maka yang berwenag adalah MPR, dan rumusannya bukanlah merupakan suatu hukum dasar melainkan tertuang dalam ketetapan MPR. Jadi konvensi bilamana dikehendaki untuk menjadi suatu aturan dasar yang tertulis, tidak secara otomatis setingkat dengan UUD, melainkan sebagai

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AZAS Pancasila